Artikel ini dimuat di Harian Suara Pembaruan, Senin 24 Oktober 2011 halaman 5.
Oleh : Sonny Eli Zaluchu
Ketika tidak ada visi, menjadi liarlah rakyat ! Amsal.
“Uang negara dirampok oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.” Demikian komentar Presiden usai melantik 12 Menteri dan 13 Wakil Menteri hasil perombakan terbaru kabinet yang dipimpinnya. Pernyataan tersebut mengandung dua implikasi sekaligus. Pertama, sedemikian hebatnya korupsi di Indonesia, sehingga presiden akhirnya menstigma koruptor dengan istilah perampok. Orang yang merampok, tentu saja disebut perampok. Dan negara yang dipimpin oleh Presiden, ternyata penuh dengan para perampok! Mereka tidak berasal dari tempat yang nun jauh disana, tetapi ironisnya ada di dalam birokrasi pemerintahan, aparat penegak hukum dan politikus di parlemen. Implikasi kedua sangat jelas. Para parampok itu ternyata terdapat di dalam tubuh kepemimpinan presiden sendiri. Mereka adalah oknum pemerintah pusat, daerah dan anggota parlemen.
TIDAK BUTUH SERUAN
Seruan Presiden sekeras apapun, pada hemat penulis, tidak akan pernah bermakna dalam upaya pemberantasan bahaya laten korupsi di negara ini. Mengapa? Seruan apapun dari para tokoh dan pejabat sudah tidak bertaji membuat takut para perampok itu. Bahkan masyarakat kita pada akhirnya menjadi abai dengan omongan para pejabat yang tidak pernah menyentuh substansi masalah dan bergegas bertindak mengatasinya.
Coba saja lihat seruan para tokoh agama yang bersatu mengkritisi berbagai ketidakdilan dalam praktek penyelenggaraan negara, sama sekali tidak membawa pengaruh yang signifikan. Bukti mutakhir adalah kasus ‘aniaya’ rohani yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor. Seruan apapun yang ditujukan kepada aparat di daerah, tidak mengubah apapun dan mereka, yang kebebasan memeluk agamanya telah dijamin hukum dan UU, tetap dilarang beribadah di tempat yang bertahun-tahun mereka tempati. Seruan keprihatinan para tokoh nasional terhadap berbagai masalah bangsa dan negara ini juga seperti uap air di tengah panas terik, yang hanya terlihat sebentar untuk kemudian hilang tanpa bekas. Pemerintah sama sekali tidak memperlihatkan respon dan perubahan di lapangan. Berkali-kali kita mendengar Presiden berseru ini dan itu kepada aparatnya sendiri, tetapi tidak ada satupun hasil yang dirasakan oleh masyarakat.
Negara ini dengan segala permasalahannya tidak membutuhkan seruan para pejabat atau tokoh. Hal itu terbukti tidak efektif memperbaiki situasi. Yang dibutuhkan adalah implementasi. Yang mendesak dilakukan adalah perubahan tingkah laku dan tindakan nyata aparat pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan hukum. Kita semua sudah menyadari bahwa korupsi dan pelanggaran hukum telah membuat masyarakat muak. Dan ketika para pejabat yang seharusnya mampu bertindak lebih untuk memperbaiki keadaan, hanya sebatas berteriak dan berseru, masyarakat cuma berpikir, “sandiwara apalagi yang tengah dimainkan.” Seruan tanpa tindakan hanya akan membuat masyarakat semakin muak dan skeptis. Yang seharusnya dilakukan adalah, hukum para perampok itu dengan seberat-beratnya. Jangan sampai terjadi, para perampok itu justru divonis ringan atau malah dibebaskan dari segala tuntutan hukum seperti belakangan ini diperlihatkan dalam penanganan kasus-kasus tipikor. Semua kenyataan itu telah mencederai rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat. Satu-satunya langkah untuk memperbaiki keadaan itu, hentikan seruan dan mulailah bertindak. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, pasti akan pulih dengan sendirinya. Jangan sampai masyarakat akhirnya beranggapan, ada maling teriak maling.